Pantang menyerah dan berani menghadapi tantangan menjadi pegangan hidup Sih Budi Hari, 48 tahun, nelayan Tamban Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang. Dia memulai bekerja di laut sejak berusia 14 tahun. Saat anak sepantaran tengah bersekolah, Budi telah mengarungi laut selatan yang dikenal berombak ganas. Berbekal perahu bermesin tempel, Budi memburu aneka jenis ikan tangkap seperti ikan tengiri, kerapu, gutita dan lobster.
Faktor kemiskinan yang memaksa Budi menjadi nelayan. Orang tuanya bekerja sebagai petani tak mampu membiayai pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Karena rumaah dekat dengan pantai Tamban, dia akrab dengan para nelayan. Menjadi nelayan dianggap pekerjaan yang paling mudah untuk mencari uang, meski risiko dan tantangannya besar.
Laut di ujung Pacitan sampai Banyuwangi di Jawa Timur telah diarunginya. Bekerja mulai malam sampai siang hari, Budi telah mengunjungi seluruh pelabuhan ikan di Jawa Timur. Tak puas hanya menjadi nelayan, Budi tertantang untuk memasarkan sendiri ikan hasil tangkapannya. Saat itu, ikan dibeli melalui tengkulak dengan harga murah yang merugikan nelayan.
Setelah membangun jaringan, pada 1983 Budi mendapat jalan memasok lobster ke seorang penguasaha di Surabaya. Saat itu harga lobster sekitar Rp 6 ribu per kilogram, dia mengumpulkan sebanyak satu ton lobster dari nelayan. Tak disangka, sang pengusaha melarikan diri. Sedangkan Budi harus tetap membayar untuk menjaga kepercayaan para nelayan.
img by TEMPO/Eko Widianto |
Budi lalu mengajukan pinjaman Rp 6 juta ke kantor perbankan sejauh 10 kilometer dari rumahnya. Lahan sawah satu-satunya milik orang tuanya dijadikan anggunan. Seluruh uang pinjaman digunakan membayar penjualan lobster nelayan. Budi kembali mencari pembeli yang bisa dipercaya. Hingga bertemu dengan pengusaha asal Taiwan yang justru memberi pinjaman Rp 300 ribu untuk membuat kolam penampungan lobster.
Kolam penampungan dan instalasi pengemasan lobster disediakan untuk menjamin pasokan lobster tetap segar sampai ke tangan pembeli. Lobster dikirim ke Hong Kong dan Singapura melalui Denpasar.
Lobster dipilih berdasarkan berat minimal seberat 200 gram per ekor. Terberat seekor lobster mencapai satu kilogram. Usaha ekspor lobster melalui UD Lancar yang dikelolanya berjalan lancar. Setahun lalu saat musim lobster, dalam sehari dia menghabiskan uang Rp 150 juta untuk membeli lobster tangkapan nelayan. Harga lobster Rp 600 ribu sampai Rp 1 juta per kilogram disesuaikan dengan ukuran dan kualitas.
Dulu setiap pekan tiga kali pengiriman, masing-masing 400 kilogram. Namun, saat musim paceklik ini selama sebulan tak banyak lobster berkualitas yang bisa dikirim. Akibatnyam sebagian lobster ditempatkan di kolam penampungan sambil menunggu tangkapan para nelayan.
Sementara itu gurita dipasok ke sebuah pabrik pengalengan di Surabaya. Gurita dijual seharga Rp 27 ribu sampai 45 ribu per kilogram tergantung kualitas. Saat cuaca bagus, sehari bisa mengirim sekitar dua ton gurita. Namun, saat gelombang tinggi hingga empat meter seperti sekarang, tak banyak pasokan gurita sehingga pasokan gurita pun terhambat.
Kini, para nelayan memilih berdiam diri di rumah memperbaiki jaring dan alat tangkap. Sebagian bekerja sebagai kuli bangunan atau buruh tani. Sebagian lahan di sekitar Tambakrejo merupakan area pertanian subur. Sehingga banyak nelayan yang alih pekerjaan menjadi buruh tani. Total jumlah nelayan di Tamban sebanyak 180 nelayan dengan jumlah kapal sebanyak 100 buah.
Adapun Kepala Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Malang Indra Krisna mengaku tengah memberikan pendidikan literasi keuangan kepada para nelayan. Mereka diajak untuk membuka rekening tabungan dan menabung sebagian uang hasil penjualan ikan. Sedangkan saat musim paceklik uang tersebut bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari maupun biaya pendidikan anak.
Indra juga mendorong sebagian nelayan membuka program layanan laku pandai. Dengan demikian, nasabah tak harus ke kantor perbankan tapi bisa ke kios atau warung yang bekerjasaam dengan perbankan. Termasuk memanfaatkan program Jaring berupa kredit khusus untuk sektor perikanan, meliputi perikanan tangkap maupun budidaya.
Sebanyak delapan perbankan telah bekerjasama untuk menyalurkan kredit ke nelayan. Namun perbankan juga menghitung resiko dan pengembalian daya yang dihimpun dari masyarakat tersebut.
Manajer Kredit Mikro BRI Wilayah Malang, Nanang Setiadi menjelaskan telah bekerjasama dengan sejumlah nelayan. Program laku pandai dibuka di sejumlah perkampungan nelayan seperti di Tamban dan Sendang Biru Kabupaten Malang. Harapannya, tak hanya Budi tetapi nelayan lainnya juga bisa berkembang usahanya. Bahkan melampaui Budi yang setiap hari omzetnya mencapai Rp 150 juta.
Sumber : bisnis.tempo.co
0 Response to "Kisah Sukses Nelayan Sendang Biru Malang Jadi Pengusaha"
Post a Comment